Oleh: Suherman, S.H.
(Aktivis Hukum dan Ham Kepri)
Penghentian penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi acapkali dilakukan penegak hukum dengan beberapa alasan seperti menghentikan karena tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, perkara ditutup demi hukum, atau uang hasil korupsi telah dikembalikan.
Secara pengertiannya, penyelidikan merupakan tindakan permulaan dalam proses penyidikan, karena dengan penyelidikan dapat menentukan apakah suatu perbuatan merupakan perbuatan pidana atau tidak.
Muncul pertanyaan apakah penegak hukum setiap melakukan proses hukum wajib melakukan penyelidikan?
Jawabannya tidak juga, penyelidikan wajib dilakukan ketika aparat hukum ragu akan sesuatu perbuatan, apakah perbuatan tersebut mengandung unsur pidana atau bukan, namun bagi perbuatan pidana yang bentuknya secara terang, jelas dan nyata biasanya naik langsung ketingkat penyidikan contohnya adalah beberapa kasus tindak pidana korupsi yang di tangani oleh Penegak hukum.
Terkait penghentian penyelidikan karena uang hasil korupsi telah dikembalikan, jika mengacu kepada asas hukum pidana Undang-undang korupsi yang bersifat Primum Remedium, maka kecil besarpun korupsi harus di lanjukan ke pemidanaan.
Namun penulis tidak sepenuhnya sepakat jika semua kasus korupsi karena uangnya dikembalikan dilanjutkan atau dihentikan.
Karena dalam penghentian atau melanjutkan kasus perlu memandang konteks rangkaiannya atau Noscitur a Socilis, dalam artian perlu melihat nilai kerugian keuangan Negara yang ditimbulkan akibat korupsi.
Apabila kasus korupsi tersebut nilai kerugiannya kecil maka sudah selayaknya dihentikan dan diproses dengan pengembalian kerugian keuangan Negara tanpa diikuti pemidanaan, namun tidak sebaliknya apabila korupsinya besar maka perlu melakukan penegakan hukum yang tegas sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Perubahan 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 4 “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”
Pertanyaan muncul bagaimana menentukan korupsi kecil dengan korupsi besar?
Pertama, secara yuridis memang belum ada penentuan kasus korupsi itu apakah besar atau kecil apakah korupsi biasa atau korupsi luar biasa, mengutip pendapatnya Prof Romli Atmasasmita, SH. kejahatan korupsi itu menjadi luar biasa jika nilai kerugian keuangan negara harus signifikan dan dikategorikan merampas hak ekonomi rakyat.
Artinya orientasi korupsi sebagai kejahatan luar biasa sangat tergantung pada dampak dari perbuatan tersebut dan juga padanan kepada jumlah nilai kerugian keuangan Negara.
Untuk menjawab korupsi itu kecil atau besar, penulis membandingkan dengan biaya operasional perkasus yang ditangani sampai tuntas di kejaksaan, menurut referensi penulis baca, adalah sekitar Rp. 200 Juta untuk satu kasus sampai tuntas, dengan pembagian rincian biaya Rp.25 juta tahap penyelidikan, Rp.50 juta tahap penyidikan, Rp.100 juta tahap penuntutan, dan eksekusi Putusan Rp. 25 juta.
Jadi apabila biaya operasional lebih besar dibandingkan nilai uang yang dikorupsi, maka penulis sepakat kasus tersebut dihentikan dan tidak diikuti pemidanaan dengan syarat pelaku diwajibkan mengembalikan seluruh kerugian keuangan Negara karena ongkos untuk melakukan proses hukum jauh lebih mahal dari pada jumlah kerugian keuangan negara.
Kedua, penulis mengutip dari modul Teknik Penyidikan dan Pemberkasan, Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta 2019.
Parameter Perkara korupsi Besar atau Big Fish apabila memenuhi salah satu atau lebih kriteria sebagai berikut 1. Melibatkan pelaku dari satu dan/ atau lebih Kementerian atau Lembaga lainnya Bersama-sama dengan pelaku di Lembaga Tinggi Negara lainnya, baik di Pusat maupun di Daerah dengan pelaku swasta. 2. Pelanggaran terhadap satu atau lebih peraturan perundang-undangan dalam bidang pengaturan yang berbeda-beda. 3. Pembuktian menggunakan alat bukti konvensional Pasal 184 KUHAP ditambah dengan digital evidence dan/atau scientific evidence. 4. Tindak Pidana yang dilakukan pada saat terjadi bencana. Terkait point nomor 4 bahwa berdasarkan beberapa Peraturan yang berlaku seperti Peraturan Pemerintah 49 Tahun 2020, Negara kita lagi dalam keadaan bencana non alam. Tegasnya siapaun yang melakukan korupsi disaat Negara lagi dalam keadaan bencana alam dapat dikualifikasikan sebagai pelaku tindak pidana korupsi besar.
Untuk mempertegas argumentasi hukum yang penulis uraikan terkait Pengembalian uang hasil korupsi tidak serta merta menghilangkan pidananya, maka penulis mengutip paling tidak 5 orang pendapat ahli hukum terkemuka yang sering tampil di Publik.
- Profesor Dr.Mudzakir, S.H.,M.H. “Pengembalian hasil tindak pidana sering dikaitkan dengan waktunya. Bila pengembalian dilakukan sebelum penyidikan dimulai, seringkali diartikan menghapus tindak pidana yang dilakukan seseorang. Namun, bila dilakukan setelah penyidikan dimulai, pengembalian itu tidak menghapus tindak pidana. Kalau menurut saya, dikembalikan sebelum atau sesudah penyidikan itu tetap melawan hukum. Misalnya saya mencuri, lalu mengembalikan barang curian sebelum orang lain tahu. Itu kan tetap tindak pidana”.
- Dr. Chairul Huda, S.H.,M.H. “Jika unsur melawan hukum dari sebuah perkara sudah ditemukan, pengembalian dana yang dilakukan orang atau subjek hukum itu sendiri, tidak menghapuskan perbuatan pidana yang sudah dilakukan, Pengembalian dana mungkin dilakukan, tetapi harus dilihat dari maksud dan tujuan, apakah pengembalian dilakukan dalam proses administrasi atau dalam rangka proses hukum, karena memang dalam hukum administrasi negara juga ditemukan adanya proses pengembalian dana seorang. Ia mencontohkan seperti pejabat yang sudah menerima dana SPPD perjalanan untuk berangkat ke Jakarta, tetapi pada saat berkenaan yang bersangkutan tidak jadi berangkat, hingga dana yang sebelumnya diterimanya, dikembalikan ke kas daerah, itu artinya pengembalian dalam proses administrasi, kendati memang hal itu ditentukan atas batas waktu sesegera mungkin dilakukannya pengembalian. “Jadi pengembaliaan dan yang dikatakan tidak menghapus unsur pidana dalam pasal 4 UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi itu, berlaku pada sebuah perbuatan melawan hukum, dalam ranah pidana, ada penyalahan kewenangan, lalu kemudian dia mengembalikan hingga perbuatannya itu tidak menghapuskan unsur melawan hukum dan pidana yang dilakukan.”
- Abdul Fickar Hadjar “Jika yang dimaksud sudah terjadi tindak pidana korupsi, kemudian diproses lalu dikembalikan kerugian negaranya dan perkara dihentikan, ini jelas-jelas bertentangan dengan pasal 4 UU Tipikor yang menyatakan pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan tindak pidananya, pengembalian kerugian negara itu hanya memengaruhi besar-kecilnya hukuman yang akan diterima”
- Bivitri Susanti, S.H., LL.M. “Mengembalikan uang tidak menimbulkan konsekuensi hukum. Hukum pidana tetap berlaku kalau seseorang sudah melakukan suatu tindak pidana, pengembalian duit oleh beberapa pihak untuk menjadi salah satu pertimbangan hakim ketika menjatuhkan hukuman. ini pun nanti terserah hakim yang jelas, tidak ada konsekuensi hukum untuk mereka yang mengembalikan uang,”
- Irjen. Pol. (Purn.) Basaria Panjaitan, S.H., M.H. “pengembalian uang hasil korupsi tidak akan menghapus atau menghentikan perkara pengusutan kasus itu jika sudah ditangani KPK.
Oleh karena itu, penulis memberi masukan kepada penegak hukum khususnya yang mempunyai kewenangan penyelidikan dan penyidikan bahwa tidak semua kasus korupsi dapat dihentikan proses hukumnya ketika pelaku mengembalikan sejumlah uang kerugian keuangan Negara, apalagi jika kerugian keuangan Negara dimaksud mencapai nilai Miliaran rupiah.
Terlebih lagi di dalam banyak praktik penegak hukum yang mempunyai fungsi penyelidikan dan penyidikan seolah olah lupa dengan tugas fungsi pokoknya dan terkadang justru menjelma sebagai hakim dilapangan dengan cepat mengadili sesuatu pelaku untuk menghentikan perkara atau dilanjutkan.
Karena sejatinya tugas mengadili dan menilai berhenti atau tidaknya kasus terkait pengembalian kerugian keuangan negara seyogyanya kewenangan hakim yang lebih berwenang dalam penangaannya. Karena dalam sistem negara hukum kita telah jelas ada pembagian kekuasaan baik kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Dan fungsi yudikatif atau mengadili di pegang oleh hakim negara.
Demikianlah negara harus hadir menunjukan sikap tegas dan bermartabat, karena dalam kasus korupsi kita semua adalah korban dan hak-hak masyarakat luas tergadaikan akan hal itu.