Oleh : Randi Rizky Kurniawan
Mahasiswa semester akhir yang lagi menyelesaikan bab 4-5
Penghujung tahun 2022 ini kita banyak menemukan fenomena-fenomena unik hasil rasa, karsa, cipta, karya manusia Indonesia yang menghebohkan seantero negeri. Mulai dari Rehan yang dicari-cari karena terlalu baik, tragedi polisi tembak polisi yang kasusnya begitu syulittttttttt untuk dilupakan (padahal saya yakin polisi lebih baik daripada Rehan), hingga kalimat Kamu nenyeeee??? Yang fenomenal. sepertinya agak berat bagi saya untuk membahas mengenai perusahan Sampo, walapun tangan saya gatal ingin menulisnya, tapi ya sudah sementara ini saya garuk saja, saya belum siap ada penjual pertalite botolan pakai HT parkir depan pintu kos. Ada baiknya kita bahas kamu nanya saja, agar lebih aman. Lagipula saya sangat tertarik dengan kalimat pertanyaan ini, bagi saya kalimat ini terdengar agak mirip seperti tagline kampanye politik. Bukan ke kalimatnya yaaa, tapi proses penyebarannya di masyarakat. Lansung saja mari kita bahas dengan pendekatan sedikit sok akademis dengan cara seksama dalam tempo sesingkat-singkatnya
Kamu nanya? adalah sebuah kalimat pertanyaan yang terdiri dari dua kata “kamu” dan “nanya”, sederhana memang tapi anehnya mampu membuat setiap orang atau setidaknya anak muda di Indonesia terngiang-ngiang setiap harinya. Ibarat sebuah virus yang menular “kamu nanya” menjelma menjadi trend yang melengkapi setiap percakapan. Ada yang nanya kabar kita jawab “kamu nanya”, kita nanya temen lagi dimana “kamu nanya”, pemerintah kita tanyakan tentang solusi permasalah masyarakat, jawabannya tetap sama “kamu nanya”, bahkan dalam keadan tidak sadar saat sendirian kita tiba-tiba berujar “kamu nanya”, bahkan-nya lagi ketika saya menanyakan kepada diri saya sendiri kenapa menulis tulisan ini otak saya lansung merespon dengan jawaban “kamu nanya”. Sadar atau tidak “kamu nanya” sudah merasuki pikiran kita dan menyatu dengan sel otak. Fenomena ini memunculkan sebuah pertanyaan, kok bisaaaa? Jawabannya adalah “Kamu nanya”, lahhh :D..
Sebenarnya slogan yang dipopulerkan oleh Alif seleb tiktok dengan persona Dilan KW ini bukan sesuatu yang baru. Jauh sebelum kata-kata ini viral, di masyarakat indonesia hal-hal seperti ini juga pernah menjadi trend yang biasa terjadi, jika kita pandang lagi ke belakang, sebelum kamu nanya menyebar kesana-sini, sudah ada kata “slebewwwww” yang dipopulerkan Jeje Citayem Fashin Week, lebih jauh lagi di tahun-tahun sebelumnya, “anjay” sudah menjadi kata gaul populer yang masih bertahan hingga sekarang ditengah gerusan “slebeww” dan “kamu nanya”, lebih jauh lagi kebelakang kita bisa menemukan kata “prikitiwww” yang dipopulerkan oleh comedian sule yang saya pun lupa artinya. Kebiasaan ikut ikutan trend seperti ini sebenarnya bawaan lahiriah manusia, sedari bayi kita sudah terbiasa mengimitasi apa yang dicontohkan orang tua, sesederhana kata bilang “eek” sebagai simbol kalau ingin buang air. Di situasi yang lain misalnya, di zaman kita sekolah SD, andai saja “akapalapulutakdung” dimaknai sebagai kata-kata yang lucu, maka tidak dipungkiri satu sekolah ketika sedang bercanda menyelipkan kata “akapalapulutakdung”.
Trend “kamu nanya” sebenarnya merupakan proses interaksi masyarakat dengan simbol. “Kamu nanya” sekarang mewujud menjadi simbol bercandaan, atau disisi lain dimaknai sebagai jokes pelengkap percakapan. Siapapun yang memakai kata ini bisa saja merasa lucu, kocak, merasa keren, atau malah mungkin saja ada yang men-capnya norak, semua tergantung interpretasi masing-masing. Tapi yang jelas setiap orang saat ini berpotensi ikut-ikutan mengucapkan “kamu nanya”. Setelah “kamu nanya” ditafsirkan setiap orang sesuai dengan interpretasinya masing-masing, simbol ini lalu menjadi sebuah bentuk interaksi baru antar manusia, atau lebih tepatnya membentuk sebuah tindakan. Tindakan tersebut salah satunya adalah kalau ada yang nanya kita jawab “kamu nanya” .. ribet bukan?? Kalo pake teori emang ribet, sederhananya begini Alif ngomong “kamu nanya” akhirnya FYP dan banyak yang nonton di tiktok, si Alif jadi trendsetter, lalu “kamu nanya” menjadi trend dimana-mana dan akhirnya banyak yang ikut-ikutan. Trend yang awalnya hanya tersebar di kolom-kolom komentar medsos akhirnya terbawa ke dunia nyata, dari sini penyebaran dimulai lagi tapi melalui interaksi yang lebih rill. Ngertii sampai sini? Tolong yaa jangan dijawab dengan “kamu nanya”.
Nah sebenarnya kalau kita tarik ke sesuatu yang sedikit lebih serius fenomena penggunaan “simbol” sudah lama dipakai oleh partai politik untuk berkompetisi di dalam Pemilihan Umum terutama di era digitalisasi, (kenapa kamu nanya saya tarik ke partai politik? Yang jelas karena saya sudah bridging di awal, jadi cocokin aja). Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat agar mendukung mereka. Partai atau pun anggotanya secara individu akan berupaya menampilkan “simbol-simbol” yang diwujudkan dengan berbagai bentuk, tak hanya “slogan-slogan” seperti “partai wong gede” misalnya, atau “partainya anak muda”, atau secara individu ada calon yang memakai slogan “siap mengabdi kepada masyarakat” atau lebih ekstrimnya “siap jungkir balik, koprol, handstand, jadi member gym untuk rakyat” dan masih banyak lagi slogan kreatif yang biasanya sengaja dimunculkan.
Namun perlu diketahui “simbol” tidak melulu soal kata-kata, ada juga yang menampilkannya dengan tindakan, misalnya blusukan keluar masuk parit, bagi-bagi uang, bagi-bagi sembako saat kampanye, jumpa ibu-ibu pengajian komplek untuk safari dakwah, posting baca tulis quran di medsos, puasa senin kamis lagi-lagi posting di medsos, tiba-tiba rajin kemasjid buat foto kalo lagi ibadah dan posting di IG story, atau pakai baju kaos model kotak-kotak meja catur ala-ala anak Citayem Fashion Week yang sudah bubar dan masih banyakkk lagi tergantung dengan situasi. Tak lain tak bukan tujuan dari “simbol-simbol” ini adalah agar segala sesuatu yang mereka tampilkan dimaknai “baik”, “gaul”, “alim” oleh masyarakat sehingga masyarakat yang melihatnya terstimulasi dan meresponnya dengan menyebarkan simbol-simbol tersebut ke masyarakat lainnya. Setelah simbol yang diberi makna ini dimaknai sama pula oleh masyarakat akhirnya masyarakat mengambil tindakan dengan mengusung partai atau memilih si calon tersebut.
Namun perlu kita sadari dalam permainan simbol ini ada satu hal yang yang kadang tidak kita sadari, “HYPER REALITY” atau realitas palsu. Banyak saat ini masyarakat terbiasa untuk memaknai apa yang ditampilkan di media sosial atau apa yang terlihat di depan mata di dunia nyata sekalipun sebagai kenyataan yang sebenarnya. Padahal masyarakat seyogyanya tidak tahu secara utuh apa yang sebenarnya terjadi dibalik sesuatu yang ditampilkan. Alif yang menjadi trendsetter “kamu nanya” tak banyak masyarakat yang tahu kehidupan pribadinya. Apakah setiap hari dia memakai jaket denim dan menjadi Dilan KW, apakah ketika ada yang menanyainya dia selalu menjawab “kamu nanya”, tak banyak pula yang tahu apakah sepulang sekolah dia pergi tawuran lalu pulang membonceng Milea mengantarkannya kerumah, apakah saat malam tiba dia pergi ke telpon umum lalu menelpon Milea dan berkata “jangan kaya, berat, biar DPR saja” atau dia hanya siswa SMP jakarta biasa yang menjadi content creator beruntung bisa FYP di tiktok, tak banyak yang tahu. Yang masyarakat tahu apa yang terlihat di medsos saja yaitu, Alif adalah Dilan KW dengan slogannya “kamu nanya” lalu diikuti kata “RAWWWRR” di ujung kalimat.
Begitu juga dengan apa yang ditampilkan oleh partai politik dan politisi di medsos taupun saat kampanye. Tak banyak masyarakat yang tahu kehidupan sebenarnya politisi, apakah kebaikan kebaikan yang mereka tampilkan sama dengan kehidupan asli mereka? Yang masyarakat tahu mereka terlihat suka berbagi, naik turun got, pakai baju yang lagi ngetrend, makan di warung pecel lele kaki lima padahal restoran bintang lima, rajin ibadah dan lain sebagainya, tak banyak yang tahu mungkin saja si calon punya kepentingan pribadi tersendiri, naik untuk melancarkan proyek, atau mungkin berencana korupsi. Ini mungkin terdengar skeptis, tapi tak salah sepertinya jika masyarakat harus mulai cerdas memilih, bukan lagi memilih karena ikutan trend pilihan orang lain yang didasarkan dari kebaikan yang diperlihatkan politisi apalagi memilih karena diberikan uang lalu itu difasirkan sebagai “kebaikan calon” yang padahal itu merupakan akar dari korupsi. Maka sudah saatnya masyarakat memilih karena telah melakukan track record terhadap politisi tersebut, mempelajari alam pikirannya, visi-misi yang yang ditawarkan, dan tentu saja harus dipastikan dia tidak pernah korupsi, banyak lagi sebenarnya indikator lain yang bisa dipakai. Dengan begini masyarakat akan lebih bisa menjadi pemilih yang obyektif dan cerdas dalam memilih.
Jika pembaca bertanya kenapa saya menulis sepanjang ini? Jawabannya “kamu nanya, kamu tercandu-candu, jangan lupa share dan baca tulisan aku yaa” 😀