Menteri KKP RI, Wahyu Sakti Trenggono saat pencanangan bulan cinta laut di Kampung Madong, Kota Tanjungpinang, Selasa (18/10/2022). F: Immanuel Patar Mangaraja Aruan

JAKARTA,SIJORITODAY.com – Komisi IV DPR-RI meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menindaklanjuti penolakan masyarakat terhadap kebijakan pajak penangkapan ikan 10 persen.

Itu disampaikan langsung oleh Ketua Komisi IV DPR-RI, Sudin dalam rapat dengar pendapat bersama KKP RI di Gedung DPR-RI, Senayan, Selasa (17/1/2023).

“Komisi IV meminta tindak lanjut isu yang berkembang saat ini adanya demo nelayan di berbagai daerah terhadap PP 85 Tahun 2021,” katanya.

Sudin menerangkan, pajak 10 persen merugikan karena akan menambah biaya operasional nelayan.

Selain pajak 10 persen, Sudin juga meminta KKP menindaklanjuti penolakan nelayan terhadap penangkapan ikan terukur.

Menurutnya, penolakan terjadi karena KKP belum masif melakukan sosialisasi dan belum menetapkan kuota tangkap korporasi atau investor.

KKP juga perlu segera menetapkan batas wilayah tangkap kepada nelayan kecil dan industri.

“Penolakan nelayan terhadap kebijakan penangkapan ikan terukur karena masih belum jelas aturan yang akan diberlakukan, kurangnya sosialisasi seperti pemberian kuota kepada korporasi dan pembagian wilayah tangkap kepada nelayan kecil serta industri,” ujarnya.

Komisi IV pun meminta KKP mendalami kebijakan penangkapan ikan terukur. Sudin sendiri mengusulkan agar digelar focus group discussion (FGD).

Teman-teman Anggota Komisi IV mengusulkan agar ada FGD untuk mendapatkan gambaran secara umum

Sebelumnya, KKP menyatakan tengah berupaya agar penangkapan ikan terukur berlaku pada Januari 2023.

Realisasi kebijakan itu tengah menunggu persetujuan dari Presiden Joko Widodo.

Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono menjelaskan, penangkapan ikan terukur diperlukan agar populasi perikanan tetap terjaga.

Nantinya, terdapat tiga jenis kuota yang akan diberikan dalam lingkup kebijakan penangkapan ikan terukur.

Pertama, kuota kepada pelaku penangkap ikan, kedua, kuota kepada masyarakat lokal atau pesisir, ketiga, kuota untuk pendidikan, pelatihan, dan hobi.

Melalui kebijakan itu, ikan oleh kapal-kapal di laut tidak lagi memerlukan izin pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

“Kalau dulu rezim lama itu dengan izin kapal. Izin kapal yang 30 GT kebawah itu adalah izin daerah, lalu di atas 30 GT izin pusat,” tambahnya.

Penulis: Nuel

Print Friendly, PDF & Email

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here