
BINTAN,SIJORITODAY.com – – Momen langka yang mungkin setiap orang tidak akan bisa merasakannya. Melihat proses penyu-penyu bertelur langsung dari habitatnya. Namun, keberuntungan itu berpihak kepada saya bersama dua rekan saya.
Setelah menempuh perjalanan panjang dari Pulau Bintan menuju ke Pulau Tambelan selama kurang lebih 18 jam dengan Kapal Bahtera Nusantara 03. Kami bersama rombongan Bupati Bintan dan pimpinan FKPD serta pejabat OPD Bintan, tiba di Pulau Tambelan, Senin (1/5) pagi.
Sambutan hangat dari masyarakat Melayu mengiringi kedatangan kami di sebuah kecamatan terjauh dari Pulau Bintan. Pagi itu, kami bergegas dari pelabuhan Tambelan menuju Rumah Adat Kecamatan Tambelan. Jaraknya tidak terlalu jauh ditempuh dengan sepeda motor.
Kami langsung disambut dengan hidangan sarapan lengkap dengan kerupuk ikan khas Pulau Tambelan. Setelah berehat sejenak mengisi lambung, kami langsung mulai bekerja dengan meliput sejumlah agenda Bupati Bintan dan rombongan di Pulau Tambelan yang diawali dengan halal bi halal bersama masyarakat Tambelan sekaligus penyerahan beberapa bantuan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bintan kepada masyarakat di Tambelan.
Selepas acara yang ditutup dengan tausiyah singkat dari Ustadz Chandra, kami bergegas menuju tempat perehatan. Hampir 120 menit melepas penat perjalanan panjang dan pekerjaan kami sebagai pewarta. Kami mesti bergerak kembali ke Desa Kampung Melayu untuk menyaksikan dan meliput balap perahu kayuh yang diikuti peserta dari 4 desa 1 kelurahan di Pulau Tambelan.
Cuaca hujan disertai paparan matahari yang menyengat langsung ke kulit, semakin menguras tenaga kami untuk mewartakan kegiatan agenda orang nomor 1 di Kabupaten Bintan itu. Beberapa menit menyaksikan tradisi balap perahu kayuh, kami berangsur meninggalkan lokasi menuju rumah singgah kami di Desa Kukup.
Saat itu, jam ponsel menunjukkan pukul 16.35 WIB. Kami menunggu ada panggilan telpon masuk, benar saja tak lama menunggu sebuah panggilan telpon masuk ke nomor rekan saya. Dalam panggilan singkat itu, kami diarahkan untuk menuju tambatan perahu di Desa Kampung Hilir. Kami bertemu dengan si penelpon yang bernama bang Roni.
Seluruh perlengkapan logistik kami pun disiapkan, bang Roni memanggil dua rekannya yakni bang Erwin dan Pak Sar untuk menemani perjalanan malam kami saat itu. Kami lepas tali dari tambatan perahu nelayan di dermaga Desa Kampung Hilir menuju ke Pulau Nangke. Kami sempat singgah sejenak di salah satu tempat penjualan ikan untuk mengambil umpan pancing.
Perjalanan pun dimulai. Kami ber-enam mengarungi lautan untuk menempuh jarak sekitar 10 mil laut. Sepanjang perjalanan kami habiskan untuk berbincang sembari menikmati lautan biru kemerahan yang terpapar mentari senja kala itu. Cuaca amat bersahabat, bahkan gelombang laut nyaris tak pernah menabrak haluan kapal yang kami tumpangi.
Alam yang mendukung perjalanan kami pun dirasakan langsung seorang rekan kami yang bisa meregangkan pinggangnya diatas kapal hingga sampai ke Pulau Nangke. Rembulan malam kala itu seakan menerangi perjalanan kami. Setibanya kami di pesisir laut Pulau Nangke, Bang Erwin mengambil lampu senter untuk memberikan kode kepada seseorang yang menjaga Pulau Nangke. Dari atas kapal, Bang Erwin terus menyoroti senternya ke sebuah pondok kayu dekat tepian pantai. Beberapa saat kemudian muncullah seorang pria yang belum kami kenal sebelumnya membalas lampu isyarat yang diberikan Bang Erwin.
Pria yang dari kejauhan belum terlihat jelas itu kemudian keluar pondoknya dan menuju bibir pantai untuk mengambil jongkong (sampan kecil) yang diikat di tepian pantai. Dia mengayuh jongkongnya memakai dayung menuju tambatan kapal kami yang jaraknya sekitar 20 meter dari tepian bibir pantai. Saat tiba, saya sempat kaget ternyata si pria itu bukan orang muda lagi.
Namanya Pak Ujang, usianya sudah 52 tahun. Pak Ujang hanya memakai celana pendek berwarna kecoklatan dengan atasan kaos berwarna merah. Rambutnya tertutup peci hitam. Pak Ujang menjemput kami dengan mengayuh jongkong agar kami bisa menapakkan kaki di Pulau Nangke. Kami berlima turun ke Pulau Nangke secara bergantian.
Kedatangan kami ke pulau yang hanya dijaga Pak Ujang seorang diri itu untuk menjawab rasa penasaran kami dengan proses penyu bertelur. Pulau Nangke merupakan satu dari beberapa gugusan pulau di Kecamatan Tambelan yang menjadi tempat penyu-penyu bertelur.
Kami tak langsung menyisir pantai beralaskan pasir putih untuk mencari penyu-penyu yang akan bertelur. Kami diajak Pak Ujang untuk duduk berehat sejenak diteras pondok panggungnya. Kami pun berbincang-bincang dengan Pak Ujang. Pria paruh baya itu berkata, jika beruntung kami bisa menyaksikan proses penyu bertelur di pulau itu.
“Kite cari aje, semoga ade (penyu bertelur),” kata Pak Ujang sambil tersenyum.
Dipandu Pak Ujang dan Bang Erwin, kami pun mulai menyisir pantai Pulau Nangke. Daerah yang kami sisir pertama berada disebelah kiri dari arah depan pondok Pak Ujang. Lagi-lagi, cahaya rembulan malam itu membantu penerangan kami, ada beberapa tapak penyu yang kami jumpai.
“Itu tapak lame (lama-red), bukan tu die,” bahasa Melayu khas Tambelan terlontar dari mulut Pak Ujang, menjelaskan kepada kami bahwa bukan itu yang kami cari.
Kami terus menggali informasi dari Pak Ujang perihal momen penyu bertelur di pulau itu. Penunggu pulau sejak 2005 silam itu menjelaskan, jika penyu akan naik namun tergantung musim dan keberuntungan.
“Kalau nak banyak, biase die bulan 5, 6, 7, 8 sampai 9. Itu musim die,” kata bapak lima anak itu.
Sudah 18 tahun Pak Ujang menunggu pulau itu, kesehariannya bekerja untuk menjaga pohon kelapa milik seorang warga Tambelan dipulau tersebut. Kami bukan rombongan pertama yang dihantar Pak Ujang untuk melihat penyu bertelur. Sudah beberapa kali Pak Ujang menjadi tour guide bagi orang yang ingin melihat lebih dekat proses penyu bertelur.
Beberapa lapak yang kami temui, semuanya kata Pak Ujang sudah ditinggal penyu kelaut. Telur-telur yang ditimbun si induk akan ditinggal hingga menetas menjadi tukik tanpa proses pengeraman. Namun, kami tidak putus asa. Hingga tak terasa langkah kaki kami terhenti saat Pak Ujang berteriak melihat ada seekor penyu berukuran besar akan bertelur di bibir pantai.
Kami yang sedari awal tertinggal dibelakang langkah Pak Ujang seketika bergegas menghampiri Pak Ujang. Benar saja, seekor penyu akan bertelur di lokasi itu. Namun kami dilarang mendekat, agar si penyu mau brrtelur di lokasi itu. Pak Ujang berucap jika proses penyu membuat lubang tempat telur-telur disimpan, si penyu tidak boleh terganggu oleh lingkungan sekitar. Kami mengamati dari jarak 5 meter.
“Nanti die (penyu) merajuk tak nak betelur,” jelas Pak Ujang.
Dari proses ini kami mengamati si penyu awal mula untuk bertelur. Kebetulan penyu yang kami temui jenis sisik kata orang Tambelan. Penyu sisik itu menggali lubang tak begitu dalam menggunakan kedua kaki bagian belakangnya. Tak lama, Pak Ujang menyampaikan kepada kami jika si penyu akan mengeluarkan telur-telurnya.
Dari situ, kami berkesempatan langsung menyaksikan momen langka tersebut. Si penyu pun mulai mengeluarkan telur-telurnya yang lunak itu. Telur yang dikeluarkan kisaran 4 hingga 5 butir, tahapan ini terus dilakukan hingga kami hitung mencapai 204 butir telur yang dikeluarkan si penyu sisik itu.
Selesai bertelur, kami melihat si penyu menggali pasir menggunakan kedua kaki depannya seakan hendak berjalan meninggalkan telur-telurnya. Ternyata, Pak Ujang mengatakan, jika si penyu akan mandi pasir. Istilah ini merupakan proses dimana si penyu akan membuat kamuflase untuk menyamarkan lubang tempat telur-telurnya agar aman dari predator-predator pemangsa telur penyu.
Pada proses ini, si penyu benar-benar cerdik menyembunyikan lubang tempatnya bertelur. Permukaan pasir dibuat mirip seperti kondisi awal sebelum Ia bertelur. Kami takjub melihat bagaimana si penyu melindungi calon keturunan dari para pemangsa.
Pada proses ini, setidaknya si penyu menghabiskan lebih dari 1 jam sebelum kembali turun ke laut untuk kembali ke habitatnya. Telur-telur itu akan ditinggal si penyu hingga menetas pada hari ke-40. Namun, pada hari ke-13 atau 14, si penyu akan kembali ke lokasi bertelurnya untuk kembali mengeluarkan telur-telurnya yang lokasinya bersebelahan dengan lokasi pertama bertelur.
“Nanti balek lagi, hari ke-13 akan betelur lagi biase dekat juga tak jauh dari situ,” Pak Ujang kembali menjelaskan.
Meskipun tak ada tanda khusus, namun satu indukan penyu kata Pak Ujang akan terus bertelur dilokasi yang tidak jauh-jauh dari lokasi bertelur sebelumnya. Bahkan, meskipun belum ada penelitian ilmiah. Tapi Pak Ujang begitu yakin, jika tukik yang berhasil menetas dan turun kelaut dengan selamat hingga besar dihabitatnya, akan kembali ke lokasi tempatnya pertama dikeluarkan dari sebutir telur lunak itu.
“Die (tukik) kuat instingnya, nanti kalau lah besar pasti kembali lagi kesini untuk betelur. Istilah die balek kampunglah,” kelakar Pak Ujang dengan keyakinannya itu.
Dari pengalaman ini, kami bisa melihat secara dekat bagaimana seekor penyu bertelur. Mulai dari pencarian lokasi aman untuk bertelur, membuat lubang tempatnya bertelur menggunakan kaki-kaki bersiripnya hingga kembali kelaut meninggalkan telur-telurnya.
Seluruh badannya tertutup dengan pasir, matanya yang hitam berair selalu dikedipkan si penyu agar bersih dari serpihan pasir-pasir pantai. Dari seekor penyu, kami bisa melihat perjuangannya mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Semoga keberlangsungan hidup penyu-penyu itu bisa terus lestari. (oxy)