oleh : Beres Lumabantobing
bereslumbantobing@gmail.com
Setiap narasi tentang pelacuran yang mengemuka, sense knowledge kita pasti merujuk kepada tindak tanduk perempuan dan laki laki yang nakal, atau apapun itu namanya yang mengatasnamakan LGBT. Pada kenyataannya, pelacuran juga dilakukan oleh laki-laki dan juga oleh perempuan. Narasi ini tidak bisa langsung di-judge kepada orientasi seksual tertentu, seperti yang diberitakan media massa tentang “LGBT”.
Adanya eufemisme “pelacuran gay” yang dimaksud menurut saya merupakan pelabelan semata kepada jenis orientasi seks tertentu. Apakah jika terdapat lesbian yang menjadi pelacur kemudian disebut “pelacuran lesbian” atau biseksual yang menjadi pelacur disebut “pelacuran biseks”?
Kunci terpenting adalah sikap kita terhadap euforia dari media. Publik seakan merespon bahwa gay adalah wabah karena menjadi sumber pelacuran; ini stigma. Apakah salah menjadi gay, dan pelacur? Pada kenyataannya tidak semua gay adalah pelacur dan tidak semua lesbian merupakan pelacur atau pekerja seks komersial. LGBT lahir karena dorongan dari hasrat indvidu, sosial yang dikomparasikan hingga diwujudkan dalam bentuk lesbian, gay, pelacuran.
Sejumlah penelitian menunjukan bahwa LGBT bisa muncul akibat pengalaman traumatik (korban kekerasan seksual) maupun faktor genetik yang mempengaruhi struktur kromosom yang menunjukan jenis kelamin. Namun demikian, LGBT juga dapat muncul sebagai dampak dari interaksi sosial yang keliru sehingga ikut mengalami penyimpangan seksual (sosial disease).
Memang belum ada data resmi mengenai jumlah penyandang LGBT di Indonesia namun sudah banyak sekali ditemukan sejumlah komunitas LGBT bahkan terus berkembang. Berdasarkan data yang diperoleh penulis dari United Nations Development Programme (UNDP) bersama United States Agency for International Development (USAID) Hasil temuan dialog yang paling akhir adalah meneliti kapasitas organisasi-organisasi LGBT di Indonesia. Jumlah organisasi yang ada di Indonesia relatif besar, terdiri dari: dua jaringan nasional dan 119 organisasi yang didirikan di 28 provinsi dari keseluruhan 34 provinsi di Indonesia, beragam dari segi komposisi, ukuran dan usia.
Organisasi-organisasi ini berperan aktif di bidang kesehatan, publikasi dan
penyelenggaraan kegiatan sosial dan pendidikan. Kaum LGBT berusaha ingin mendirikan organisasi yang secara absah berbadan hukum dan terorganisir. Namun usaha mereka mendapat kecaman keras dari preman dan kelompok Islamis, serta kurangnya dukungan dan perlindungan dari pihak pemerintah maupun kepolisian
Perkembangan ini membuat mereka merasa hak-haknya perlu diperhatikan lebih lagi di Indonesia agar dapat menerima keberadaannya. Pada dasarnya salah satu ruang lingkup HAM yaitu hak pribadi dimana hak untuk diakui kepribadiannya menurut hukum. HAM sebagai hak-hak dasar yang sudah melekat pada diri sejak dari lahir yang bersifat kodrat dari Tuhan wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Setiap manusia tentu berhak mendapat perlidungan hukum demi menjaga hak-hak mereka. Sebagaimana mestinya hak pribadi atas komunitas ini pun bukan menjadi hal yang tidak mungkin untuk mendapat perlindungan hukum di Indonesia. sebagaimana yang tertulis pada uu no.39 tahun 1999 tentang HAM. Bahkan kejadian ini menjadi peluang besar para politisi untuk menjual hak suara dengan mendukung keberadaan mereka.
Peristiwa ini sempat menjadi perdebatan hangat mulai dari pemerintah sampai kepada kalangan masyarakat karena dinilai sebagai perilaku menyimpang karena tidak sesuai dengan norma, adat dan hukum yang berlaku secara umum di indonesia. Berangkat dari keberagaman kultur budaya yang ada di Indonesia saat ini yang beragam akan suku, budaya, agama yang melarang adanya LGBT, dalam budaya; budaya apapun itu yang sudah ada di Indonesia.
Berbeda dengan western country negara-negara barat, mis; Belanda yang mengakui LGBT dan melegalkan pernikahan LGBT. Di Indonesia memang terdapat hak yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memeluk agama. Seperti yang kita ketahui bahwa LGBT itu sendiri merupakan salah satu nilai yang melanggar hukum agama. Dan jugak Peraturan Undang-undang Indonesia hanya menetapkan dua gender saja, yaitu pria dan wanita. Hal ini dapat ditafsirkan dari pencantuman tegas tentang pria dan wanita dalam Undang-undang Perkawinan (UU No. 1/1974) dan ketentuan serupa mengenai isi kartu penduduk yang ditetapkan dalam Undang-undang Administrasi Kependudukan (UU No. 23/2006).
Sebagai gambaran umum tentang hak asasi LGBT di Indonesia, hukum nasional dalam arti luas tidak memberi dukungan bagi kelompok LGBT walaupun homoseksualitas sendiri tidak ditetapkan sebagai tindak pidana. Baik perkawinan maupun adopsi oleh orang LGBT tidak diperkenankan. Tidak ada undang-undang anti-diskriminasi yang secara tegas berkaitan dengan orientasi seksual atau identitas gender. Hukum Indonesia hanya mengakui keberadaan gender laki-laki dan perempuan saja, sehingga orang transgender yang tidak memilih untuk menjalani operasi perubahan kelamin, dapat mengalami masalah dalam pengurusan dokumen identitas dan hal lain yang terkait. Sejumlah Perda melarang homoseksualitas sebagai tindak pidana karena dipandang sebagai perbuatan yang tidak bermoral.
Kebijakan yang terkait dengan hak-hak LGBT cukup bervariasi, dengan adanya sejumlah komisi nasional yang mengakui dan memberikan dukungan bagi kelompok LGBT, serta mengungkapkan dukungan resmi bagi kelompok LGBT karena wabah HIV. Namun secara umum pihak kepolisian gagal melindungi kelompok LGBT dari berbagai serangan oleh para aktivis Islamis garis keras dan preman. Sementara orang LGBT yang tergolong gelandangan karena berkeliaran di tempat umum dapat menjadi korban perlakuan semenamena dan pemerasan yang dilakukan oleh petugas pemerintahan.
Sikap sosial budaya terhadap beragam orientasi seksual dan identitas gender mencerminkan kontras antara mereka yang bersikap progresif dan bersedia menerima dengan populasi jauh lebih besar yang biasanya tidak memiliki pengetahuan tentang masalah-masalah tersebut. Orang transgender mempunyai visibilitas yang lebih besar. Sebagian besar masyarakat tidak mengenal orang LGBT yang membuka diri. Orang dengan orientasi seksual atau identitas gender yang beragam mungkin mendapatkan sekedar toleransi dari pada penerimaan, meskipun hal ini hampir mustahil dapat diharapkan dari anggota keluarga.
Hal ini menjadi salah satu penyebab LGBT tidak dapat disahkan keberadaannya di Indonesia. Dibalik itu, LGBT memang bukan perilaku kejahatan namun dapat memicu terjadinya kejahatan seperti kekerasan seksual, penyebaran penyakit seksual dan agresi terhadap nilai-nilai publik yang dapat meresahkan warga baik LGBT maupun non LGBT.
Bahkan lebih parahnya lagi jika korban tersebut merupakan warga non LGBT. Merespon maraknya kejahatan seksual, terutama terkait dengan LGBT, masyarakat harus mampu mengembangkan kewaspadaan sosialnya. Terlebih lagi negara yang dapat memegang kendali melalui hukum yang dibuat oleh aparatur negara. Dalam hal ini penulis lebih setuju jika hak keberadaan mereka diganti dengan hak mendapatkan kehidupan normal. Dengan begitu ada upaya pemerintah dalam mengurangi angka LGBT di Indonesia.
Dalam menyikapi fenomena-fenomena LGBT yang lagi marak seperti saat ini. Yang walaupun sebenarnya hal itu bukan merupakan sesuatu yang baru, hanya saja kita baru mengetahui bahwa fenomena itu ada dalam lingkungan sosial kita. Oleh karena itu, menurut penulis penting kiranya menanamkan pendidikan-pendidikan yang melek gender dan “respect each other”.
Dalam hal ini penulis mencoba memberikan sebuah rekomendasi kepada pembaca masyarakat/pemerintah; a. Mendorong kegiatan pendidikan tentang orientasi seksual dan identitas gender dikalangan masyarakat dan kepada orang tua sampai kepada keluarga. b. Memperkuat kegiatan jejaring dan kolaborasi dengan lembaga-lembaga non pemerintah, mulai dari organisasi hukum dan hak asasi manusia, media massa, pusat-pusat pengetahuan, hingga sektor swasta dalam rangka mempromosikan dan mengarusutamakan hak asasi manusia serta permasalahan orientasi seksual serta identitas gender. c. Hentikan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan yang didasarkan pada orientasi seksual dan identitas gender, baik yang dilakukan oleh pejabat negara maupun oleh masyarakat umum , dalam wujud membuat peraturan anti deskriminasi.
Hal ini penting karena negara kita multicultural dan sangat beragam etnis, ras , suku, agama dan terlebih lagi karena masyarakat kita saat ini cenderung individualis dan tidak peduli (cuek), hal ini merupakan bahaya besar bagi bangunan perdamaian di negeri kita tercinta. Pendidikan melek gender menurut saya penting dilakukan untuk mengontruksi sikap peduli terhadap sesama manusia, tidak memandang jenis kelamin, orientasi seksual, bahkan agama, suku dan ras. Bagi saya, yang terpenting dalam persoalan melek gender adalah kepedulian atau respect kita terhadap sesama manusia. Begitu pula dengan sikap kita dalam menyikapi pelacuran laki-laki, jika kita tetap acuh dan cuek, ancaman dan bahaya besar senantiasa memangsa anak-anak kita.