TANJUNGPINANG, SIJORITODAY.com – –
Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) secara online kini menuai berbagai polemik hingga berujung adanya anak yang tidak merasakan pendidikan.
Bagaimana tidak, akibat terbatasnya daya tampung, sejumlah peserta didik harus terlempar dari zonasi radius tempat tinggal.
Menyikapi hal itu, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kepri, Rudi Chua, menyoroti kebijakan pemerintah yang menurutnya terkesan dipaksakan.
“Penerapan PPDB online justru menyengsarakan sejumlah kalangan masyarakat. Ini Peraturan menteri yang telah menyusahkan masyarakat Kepri dan daerah lainnya di Indonesia. Menteri seenaknya sendiri membuat aturan tanpa melihat situasi real di lapangan. Akibatnya Pemda yang menanggung permasalahan tersebut,” ujar Rudi berang.
Dalam satu minggu ini, kata dia, akibat PPDB banyak sekali keluhan orang tua murid, mulai dari tingkat SMP maupun SMA.
“Kita mengerti bahwa PPDB ini merupakan keputusan Menteri Pendidikan dan kita di daerah termasuk Tanjungpinang hanya menindaklanjuti kebijakan tersebut,” katanya.
Tetapi dibalik itu, sambungnya, ada beberapa permasalahan yang sebenarnya sangat penting yang harus diketahui, yaitu penyebaran infrastruktur di sekolah menengah belum merata.
Akibatnya, lanjut Rudi, akan ada warga yang berdomisili di zonasi yang akan dirugikan. Tidak hanya itu, sambungnya, dampak lain PPDB, orang tua selalu memotivasi anaknya rajin belajar agar dapat diterima di sekolah yang bagus, justru kini motivasi tersebut sekarang menjadi pertanyaan bagi orang tua karena kenyataannya dalam PPDB kepintaran anak tidak lagi menjadi tolak ukur untuk masuk sekolah tertentu.
Keterbatasan jumlah sekolah, ruang kelas dan kursi juga menyisakan permasalahan serius pada tahun ini. Sistem zonasi membuat pelajar yang tinggal di kawasan yang tidak terlalu jauh dari sekolah ditolak sistem. Salah satu penyebabnya adalah pelajar yang tinggal di sekitar sekolah sudah terlalu banyak.
“Contohnya, pelajar yang tinggal di Jalan Wiratno, yang jarak paling dekat dengan SMPN 1 atau SMAN 1 hanya sekitar 1,2-1,4 KM, ditolak sistem. Padahal mereka merupakan pelajar yang cerdas.
Sementara jika ingin melalui jalur prestasi, mereka kalah dengan pelajar yang memiliki prestasi di bidang olah raga. Dalam satu kali pertandingan, atlet pelajar dapat menerima lebih dari satu sertifikat kejuaraan, sehingga pelajar yang berprestasi di bidang akademik dapat tergeser. Apakah ini adil? Tentu tidak,” ujarnya.
Belum lagi permasalahan warga yang sudah tidak tinggal di sekitar SMP 1 di Jalan Tugu Pahlawan, namun belum mengurus surat pindah. Warga yang kini tinggal di KM 13 itu, menginginkan anaknya sekolah di SMPN 16, namun ditolak sistem.
“Dipaksa untuk sekolah di SMPN 1 yang jaraknya 13 kilometer. Tentu ini memberatkan,” tuturnya.
Rudi membeberkan di Tanjungpinang ada beberapa daerah “blank spot” artinya warga yang tinggal di daerah tersebut akan kesulitan untuk melanjutkan ke SMP Negeri karena tidak ada SMP Negeri yang berdekatan dengan daerah tinggal mereka.
“Di Tanjungpinang daerah tersebut antara lain: Jalan Wiratno dan sekitarnya, daerah Pasar dan Plantar , daerah Batu 5 Kp. Bulang sampai Batu 7. Jarak terdekat ke smp yang ada mencapai 1000 meter lebih sehingga tereliminasi oleh jarak,” tegasnya.
Menurutnya, ini perlu menjadi perhatian pemerintah daerah karena ratusan anak wajib sekolah, terancam tidak dapat melanjutkan sekolah hanya karena wilayah tinggal mereka di daerah blank spot tadi.
“Artinya pusat jangan mencampuri semua hal sampai anak masuk sekolah pun intervensi. Intervensi melalui PPDB inilah yg menimbulkan masalah. Kalau masalah 200 anak saya kira ini di perhitungan ideal satu kelas 32 anak. Kita untuk SMP punya 89 rumbel untuk kelas 1 SMP di tahun 2018/2019,” ujarnya.
Rudi melanjutkan, kalau ikut tahun lalu seharusnya tidak timbul masalah ini, karena tahun ini PPDB diatur pusat melalui online jadi pemerataan siswa justru tidak terjadi.
“Contoh, ada anak yang termasuk masuk ke SMP 1 padahal tinggal di Batu 13. Saat mendaftar ke SMP 16 ditolak karena ortunya pindah ke Batu 13 tetapi KKnya masih di Kampung Baru. Dan banyak kasus seperti ini. Makanya pemerataan kaku melalui domisili justru menjadi sumber masalah bukan hanya sekarang,” katanya.
Rudi mengkhawatirkan sebagian siswa menjadi apatis.
“Ngapain belajar? Ngapain nilai bagus? Toh lokasi rumah saya akan menyediakan sekolah untuk saya,” Itu akan muncul di benak mereka,” ujar Rudi.
Menurut Rudi, Pemda harus bisa mengakomodir kebutuhan anak untuk mendapatkan sekolah di manapun dia tinggal.
“Karena ini sudah hak mereka dan kewajiban pemerintah,” tegasnya.
Rudi juga menilai bahwa penerapan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMPN dan SMAN melalui zonasi secara daring (online) sebaiknya diserahkan kepada pemda.
“Pemda lebih tahu kondisi daerah sehingga lebih tepat PPDB tanpa intervensi dari Kemendikbud,” tegasnya, Sabtu (6/7).
Rudy mengatakan sistem PPDB harus diperbaiki. Kementerian Pendidikan semestinya tidak mengintervensi PPDB karena setiap daerah memiliki kebutuhan yang berbeda.
Kata Rudi, sebaiknya, PPDB untuk SMPN diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota, sedangkan SMAN diserahkan kepada Pemprov Kepri.
“UU Pemda memberi wewenang kepada pemda untuk mengurus permasalahan itu. Jika merujuk pada sistem otonomi daerah, tidak tepat Kemendik mengintervensi PPDP,” katanya.
(Blt)