Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) butuh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) bidang ketenagakerjaan sebagai solusi untuk mengatasi pengangguran. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) Provinsi Kepri merupakan yang tertinggi se-Indonesia pada 2021. Ide BUMD itu mengalir di benak penulis, setelah membaca media berita terkait Sistem Informasi Ketenagakerjaan Daerah yang diusulkan oleh DPRD Kepri.
Beberapa hari lalu, tengah Oktober 2022, anggota Komisi IV DPRD Kepri, Sirajudin Nur, menyampaikan sudah saatnya Kepri memiliki sistem informasi ketenagakerjaan terpadu sebagai pusat layanan informasi bagi masyarakat. Hal itu disampaikannya dalam rapat kerja bersama Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kepri. Layanan Informasi yang dimaksud memuat lowongan pekerjaan, pencari kerja, informasi pelatihan keterampilan kerja, pengaduan tenaga kerja, regulasi, sertifikasi, dan sistem layanan K3, terintegrasi dalam satu sistem informasi berbasis web yang dapat diakses secara mudah oleh masyarakat.
Tak banyak legislator di Kepri seperti Pak Dewan Sirajudin Nur, yang aktif memberi ide dan gagasan untuk kemajuan daerah. Yang kemudian ia publikasikan melalui berbagai media untuk menerangkan kepada masyarakat terkait kerja-kerjanya sebagai anggota DPRD. Tentu kita yang masyarakat biasa ini berharap 45 anggota DPRD Kepri beradu ide dan gagasan; menyuarakan berbagai hal yang dibutuhkan oleh khalayak ramai. Tanpa publikasi, masyarakat tak mengetahui apa saja yang dibuat oleh anggota dewan. Senyap-senyap saat menjabat, namun setahun jelang pemilu, barulah menunjukkan muka dan bersuara yang mendayu-dayu.
BUMD ketenagakerjaan di Kepri, dengan geografis yang strategis: berseberangan dengan Malaysia dan Singapura, maka peluang dan besarnya kebutuhan tenaga kerja di luar negeri harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Jarak Kepri dengan pelabuhan-pelabuhan di Malaysia dan Singapura hanya 1-2 jam menggunakan kapal feri. Tengoklah rumah kiri-kanan tetangga kita di Kepri, dulu sebelum pandemi, pasti ada tetangga yang bekerja di Malaysia. Rumah sekitar tempat tinggal saya saja, setidaknya ada 10 orang yang bolak-balik tiap bulan ke Malaysia pada waktu itu.
Dulu TKI, Kini PMI: Antara Masalah dan Tuah
Pekerja Migran Indonesia (PMI) merupakan istilah pengganti Tenaga Kerja Indonesia (TKI) berdasarkan aturan terbaru. Sebelumnya, definisi TKI termuat pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang telah dicabut dan kemudian digantikan oleh Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Warga Kepri atau secara umum PMI yang bekerja di luar negeri, khususnya Malaysia, banyak yang bermasalah; padahal mestinya membawa tuah. Mengapa bermasalah? Karena banyak PMI yang non prosedural, yaitu tanpa melalui prosedur dan mekanisme penempatan PMI yang telah diatur oleh ketentuan hukum yang berlaku. PMI non prosedural atau ilegal bentuknya antara lain: melakukan pemalsuan dokumen, memanipulasi data Calon PMI, dokumen tidak lengkap, dan tidak menggunakan visa kerja.
Kepri merupakan satu di antara pintu keluar utama di Indonesia dalam pengiriman calon PMI ilegal ke Malaysia. Dapat dikatakan hampir tiap bulan Polda Kepri berhasil mengungkap dan menggagalkan kasus pengiriman calon PMI ilegal. Calon PMI ilegal itu berasal dari berbagai daerah di Indonesia, yang biasanya ditipu oleh oknum tertentu dengan dijanjikan kemudahan pemberangkatan dan pekerjaan di luar negeri.
Sedangkan warga Kepri yang ke Malaysia umumnya menggunakan paspor pengunjung untuk berwisata. Yang tiap 20 hingga 25 hari mesti balik lagi ke Kepri, lalu berangkat lagi. Namun, PMI kita di sana tetap saja tak leluasa. Selain karena mahalnya ongkos bolak-balik, yang paling ditakuti ialah terjaring razia polisi.
Mengapa mestinya membawa tuah? Inilah yang harus menjadi pekerjaan Pemerintah Provinsi Kepri. Pekerjaan itu bisa dimulai dengan, misalnya bertanya, mengapa banyak warga Kepri yang bekerja di Malaysia tanpa dokumen resmi? Apakah prosedur dan mekanisme untuk jadi PMI itu berbelit dan sulit untuk dipenuhi? Bagaimana akses informasi dan pemahaman warga Kepri terkait PMI yang sesuai prosedur? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mesti dijawab oleh pemangku kepentingan.
Secara keseluruhan, meski jumlah PMI di luar negeri tidak mudah untuk dihitung, yang pasti, sekitar 55 persen atau lebih dari separuh PMI bekerja di Malaysia. Data pada 2018, Kementerian Luar Negeri mencatat sekitar 4,3 juta PMI berada di berbagai negara; Kementerian Ketenagakerjaan memperkirakan di atas 5 juta orang; dan bila berdasar survei World Bank, per akhir 2017, di kisaran 9 juta orang. Sedangkan data terbaru, yang disampaikan langsung oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo, pada pelepasan PMI ke Korea Selatan, 17 Oktober 2022, menyatakan bahwa total PMI yang bekerja di luar negeri mencapai 9 juta orang, tetapi 4,5 juta dari jumlah tersebut merupakan PMI ilegal.
Yang jelas, pada 2018, Bank Indonesia (BI) mencatat 3,65 juta PMI secara aktif mengirimkan uang hasil keringatnya ke Indonesia. Yang menghasilkan remitansi USD 10,8 miliar atau sekitar Rp 151 triliun. Ada pula taksiran devisa riil yang dihasilkan PMI menembus lebih dari Rp 175 triliun pada 2018. Angka itu menjadikan PMI sebagai penghasil devisa terbesar kelima setelah migas, batubara, minyak sawit, serta pariwisata.
PMI Kepri dan Mengapa di Malaysia
Pada 2019, setahun sebelum pandemi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat PMI yang pergi bekerja ke luar negeri mencapai 276.553 orang. Itu merupakan data PMI yang bekerja dengan dokumen resmi, belum termasuk hitungan mereka yang merantau dan bekerja di luar negeri secara ilegal. Hanya data pada 2019, dari 200 ribuan PMI itu, Malaysia menjadi negara penerima PMI terbesar dengan jumlah 79.662 orang.
Terbayang tak, angka-angka itu seberapa banyak? 200 ribuan itu setara dengan jumlah penduduk Karimun atau Tanjungpinang saat ini, dan 70 ribuan itu setara dengan jumlah pengangguran se-Kepri pada 2019. Pengangguran di Kepri meningkat menjadi 117.176 orang pada 2020, lalu meningkat kembali menjadi 119.595 orang pada 2021.
Bagi masyarakat Kepri yang bekerja di Malaysia, bila gajinya dihitung dengan rupiah, kiranya itu sudah sangat mencukupi. Sebagai gambaran, sebelum pandemi dengan kurs di kisaran Rp 3 ribu, kuli bangunan bisa mendapatkan upah 2.000 ringgit atau Rp 6 juta dalam sebulan; dan pembantu rumah tangga diupah 1.500 ringgit atau Rp 4,5 juta dalam sebulan.
Ada pula yang gajinya dihitung per hari, biasanya hitungan ini untuk PMI jalur ilegal. Contohnya, bekerja sebagai pencuci mobil diupah 50 ringgit per hari, atau tukang masak di rumah makan diupah 60 ringgit per hari. Dikali 20 hari dalam sebulan, sebab bebas visa di Malaysia maksimal 30 hari, yang hasilnya, tukang cuci mobil dan tukang masak di Malaysia setara upah minimum provinsi (UMP) Kepri.
Sedangkan di Kepri? Pencuci mobil di sini paling hebat diupah Rp 50 ribu per hari; dan untuk pekerja rumah makan di kisaran Rp 60 ribu per hari. Angkanya memang sama-sama 50 dan 60, membandingkan rupiah dengan ringgit; seperti bumi dan langit.
Pekerja yang digaji per hari itu, yang biasanya PMI ilegal itu, mereka bekerja sangat was-was. Mereka bekerja sekadar bekerja, pergi pagi-pulang petang. Selepas pulang kerja, mereka mesti bersembunyi di kamar dan takut untuk keluar sembarangan. Tertangkap polisi, tamat cerita mereka untuk mengais rezeki. Di Malaysia, ada data yang menyebut bahwa 1,5 juta PMI masuk ke sana tanpa dokumen resmi untuk bekerja.
BUMD Ketenagakerjaan: dari Kepri untuk Indonesia
BUMD Ketenagakerjaan bukan sekadar khayal-khayal belaka. Ianya logis untuk diwujudkan. Berdasar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, diamanatkan bahkan agar pemerintah daerah: provinsi, kabupaten, dan kota, sampai pemerintah desa, untuk ikut bertanggung jawab membekali calon PMI dengan dokumen yang legal dan keterampilan yang diperlukan.
Kepri sebagai beranda terdepan Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia mestinya turut kena tempias pertumbuhan ekonomi dari negeri jiran itu. Bagaimana pun, perekonomian Malaysia ditopang oleh pekerja kasar Indonesia. Semisal sektor konstruksi, pertanian, perkebunan, perikanan, dan beberapa sektor jasa. Mereka butuh tukang bangunan yang gagah, petani yang ulet, penjaga kebun yang tekun, pembantu rumah tangga yang bersahabat, tukang masak yang sedap, pelayan restoran yang ramah, dan seterusnya. Ke depan, melalui berbagai mekanisme penempatan PMI yang ada, Kepri bisa menargetkan tenaga kerja yang lebih beragam keterampilannya: pelaut, ahli budidaya ikan, perawat, bidan, dan tenaga-tenaga ahli lainnya.
Mengapa BUMD ini penting untuk diwujudkan? Sebab karena geografisnya itu, Kepri berpeluang menjadi pusat penempatan PMI se-Indonesia sebelum diberangkatkan ke luar negeri. Juga menjadi pusat pendidikan dan pelatihan PMI yang sistemnya terintegrasi satu pintu, atau berada dalam suatu lokasi, dan itu di Kepri. Tentu bukan pekerjaan mudah. Mesti menembus barikade Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), berserta lembaga terkait dan turunan lainnya.
Penempatan PMI ke luar negeri dapat dilakukan melalui program antar pemerintah (G to G, goverment to government), dengan skema penempatan oleh BP2MI. Selanjutnya, penempatan PMI antar pihak swasta atau perusahaan (P to P, private to private), dengan skema penempatan oleh perusahaan penempatan PMI, dan beberapa program penempatan lainnya.
Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) adalah badan usaha berbadan hukum perseroan terbatas yang telah memperoleh izin tertulis dari Menteri untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan PMI. Berdasar data BP2MI, terdapat 344 perusahaan penempatan PMI yang aktif per 10 Agustus 2022 di Indonesia. Provinsi Kepri hanya ada tiga P3MI, bandingkan dengan DKI Jakarta (103), Jawa Barat (98), Jawa Timur (59), dan Jawa Tengah (23).
Melalui skema itulah, Kepri dapat mendirikan BUMD ketenagakerjaan untuk penempatan PMI. BUMD sebagai perusahaan perseroan daerah yang berbentuk perseroan terbatas dapat menjadi P3MI. BUMD hanya satu diantara skema versi P to P. Namun bila bisa dituntaskan di tingkat Pemerintah Provinsi Kepri, semisal G to G dengan Negara Bagian Johor, atau negara bagian mana pun di Malaysia, yang bila pun harus antar pemerintah tingkat pusat, semisal kementerian, bisa diperjuangkan lewat Pak Gub kita. Kita semua tahu bahwa beliau memiliki komunikasi yang baik dengan Menko Perekonomian.
Janji dan Momentum Bagi Pak Cik Ansar
Sekira sebulan yang lalu, Gubernur Kepri, Ansar Ahmad, menghadiri pertemuan organisasi subregional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) di Thailand pada 15-16 September 2022. Pertemuan itu merupakan tahun ke 29 sejak IMG-GT dibentuk pada 1993.
Dalam satu diantara forum pada IMT-GT, Gubernur Kepri menjadi pimpinan delegasi Indonesia dalam Chief Ministers and Governors Forum (CMGF), yaitu forum yang sudah dibentuk sejak tahun 2005 sebagai wadah pertemuan dan diskusi antar pemerintah daerah (provinsi atau negara bagian) di wilayah tiga negara anggota IMT-GT.
Bagi Kepri, IMT-GT telah membawa dampak yang signifikan, ditambah dengan masuknya Johor Bahru sebagai anggota baru, yang dapat memperkuat konektivitas dengan Kepri. Pada forum itu pula, Pemprov Kepri memproyeksikan Kabupaten Karimun untuk menjadi daerah pemasok pekerja, karena itu dibuatlah pusat pengembangan pekerja di Karimun.
Di saat yang sama, perekonomian global diproyeksikan akan mengalami stagflasi pada 2023. Stagflasi adalah kondisi ekonomi yang ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang melemah dan angka pengangguran yang tinggi. Di tengah situasi yang seperti itu, janji-janji penciptaan lapangan kerja oleh Pak Cik Ansar ketika kampanye pada Pilkada 2020 mesti ditelaah kembali.
Tercantum dalam dokumen Visi, Misi, dan Program Kerja Calon Gubernur-Wakil Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad-Marlin Agustina tahun 2020-2024, pada poin pertama dari 7 program unggulan, yaitu penciptaan lapangan kerja baru minimal 100.000 lapangan kerja selama lima tahun; peningkatan skil tenaga kerja berbasis dunia kerja minimal 5.000 tenaga kerja per tahun; dan sertifikasi tenaga kerja minimal 5.000 tenaga kerja per tahun. Juga termuat pada poin ketiga dalam program unggulan, yaitu pendampingan 500 enterprenuer muda per tahun dan Gerakan Pemuda Membangun Pulau sebanyak 300 pemuda per tahun.
Pada 2023, sebagai perayaan 30 tahun IMT-GT dan 20 tahun CMGF, Kepri didapuk sebagai tuan rumah untuk menghelat forum yang bergengsi itu, sekaligus menunjukkan Kepri dipandang sebagai daerah yang strategis dan krusial. Forum itu dapat menjadi momentum bagi Pemprov Kepri untuk menyepakati berbagai ide dan gagasan, satu diantaranya ialah memperjuangkan Kepri sebagai pemasok pekerja melalui penempatan PMI untuk kawasan IMT-GT, dan secara lebih luas untuk kawasan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (Perbara, atau lebih populer disingkat ASEAN).
Segala peluang mesti diambil untuk mengurangi angka pengangguran di Kepri. Melalui BUMD ketenagakerjaan, diharapkan Kepri akan menjadi titik terang saat perekonomian global sedang gelap. Sekaligus pula sebagai momentum bagi Pak Cik Ansar untuk pelan-pelan menepati berbagai janji politiknya.
Mengapa harus sebagai BUMD?
Sebab, sebelum terlambat dan sebelum semuanya dikuasai oleh BUMN dan orang-orang pusat. Tengoklah kasus retribusi jasa parkir kapal atau labuh jangkar yang ditargetkan Pemerintah Provinsi Kepri sebesar Rp 200 miliar per tahun, namun masih terganjal. Sudah 4-5 tahun Kepri berupaya mendapatkan haknya dari Kementerian Perhubungan, namun hingga kini tetap gagal.
Di satu sisi, seluruh pemimpin dan pejabat di Kepri kerapkali mendengung-nyaringkan bahwa ‘wilayah Kepri terdiri dari laut seluas 96 persen’, namun tak ada BUMD yang benar-benar fokus mengolah laut dan ikan. Tengoklah Natuna, Provinsi Kepri yang mempunyai kekayaan laut, namun BUMN perikanan yang bercokol menikmatinya. Juga soal kebijakan kementerian yang mengerahkan kapal-kapal nelayan dari Pulau Jawa, yang malangnya itu ialah kapal-kapal cantrang. Alih-alih nelayan Kepri yang harusnya tangkap-besar karena kebijakan Menteri Susi dahulu begitu tegas dan keras terhadap kapal asing, ujung-ujungnya kapal-kapal cantrang dari daerah lain diizinkan ke Kepri. Nelayan kita yang dominan nelayan bubu dan jaring, kini mesti bersaing dengan nelayan cantrang yang tak ramah lingkungan.
Keberadaan BUMN sama saja dengan kehadiran investor asing. Mereka sama-sama perusahaan yang mengejar laba. Mengapa orang Kepri merasa berkeberatan ketika perusahaan smelter investor Cina di Bintan merekrut tenaga kerja dari Cina? Sedangkan tak merasa bermasalah ketika BUMN di Natuna membawa orang-orang dari Jakarta?
Kehadiran BUMD sebagai kekuatan ekonomi daerah demi mencipta lapangan kerja menjadi sangat urgensi. Kita tak bisa hanya berharap kepada investor untuk membuka perusahaan di kampung kita. Kita harusnya juga memiliki usaha dan perjuangan tersendiri. Ada banyak orang hebat di Kepri, suatu optimisme bahwa kita mampu mewujudkan berbagai ide dan gagasan menjadi pembangunan demi pembangunan. Tak lain tak bukan: demi Kepri yang makmur, mampu bersaing dan unggul di tingkat regional dan internasional, dengan berpegang pada budaya Melayu dan Nusantara.
Sebagaimana visi Pak Cik kita.
Penulis: Dody Nor Aryadmusa
Pemuda Pulau, Kepulauan Riau.
Selamat Hari Sumpah Pemuda tahun 2022!