Oleh : Buana Fauzi Februari
Pengkaji Kepemiluan
Alumnus Sekolah Demokrasi

Tak terasa, pejam celik- pejam celik sudah tinggal hitungan bulan bangsa ini akan menggelar hajatan demokrasi berupa Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Anggota Legislatif mulai tingkatan DPR RI, DPRD Provinsi sampai DPRD Kabupaten/Kota. Di tahun yang sama pada 2024, Pilpres dan Pileg berlangsung serentak pada 14 Februari lalu disusul Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang juga serentak pada 27 November.

Untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) dan DPD kurang seru nak dibahas karena riaknya tak begitu terasa di kalangan akar rumput, persoalan siapa yang bakal maju sebagai calon Presiden dari jauh-jauh hari sudah bisa ditebak, bahkan siapa yang akan menang sudah pada tahu, pokoknya itu mainan orang-orang atas di Jakarta sono. Kalau soal pemilihan DPD, kurang greget sebab selama ini kiprah para ‘Senator’, sebutan keren buat mereka, tak sebesar nama lembaganya, dipilih sebagai pemegang suara perwakilan daerah namun pada realitanya kewenangan dan kekuasaan yang diberikan baru sebatas menjadi pelengkap keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Yang saat ini ketar-ketir dan penuh spekulasi adalah para Calon Anggota Legislatif (Caleg) dan para Calon Kepala Daerah (Cakada), Caleg masih bingung dengan sistem proporsional terbuka atau tertutupkah Pileg 2024 nanti, Cakada lebih bingung lagi, mereka ‘dipaksa’ mengambil sikap pada perahu politik mana yang bakal mereka gunakan untuk berlayar di lautan Pilkada, sementara nasib mereka baru akan ditentukan dari hasil Pileg nanti, Partai Politik (Parpol) mana yang punya kapasitas mengusung Calon, komposisi kursi dan suara Parpol yang ada sekarang gak bisa dipakai untuk mengusung Calon di Pilkada 2024 dan belum tentu pula lolos Parliamentary Threshold 4%.

Sejak Pemilu 2009, sistem proporsional terbuka yang dipakai sebagaimana pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 telah memperkuat penerapan sistem proporsional terbuka dengan menyatakan bahwa Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan agar penyelenggaraan pemilu lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat yang seluas-luasnya atas prinsip demokrasi langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil harus menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan pemilu. Selain itu, dapat menjadi landasan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan dalam UU Pemilu agar penyelenggaraan Pemilu dapat dipertanggungjawabkan.

Sistem Proporsional Terbuka sebagaimana diatur dalam Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memiliki derajat keterwakilan yang baik karena pemilih bebas memilih wakilnya yang akan duduk di legislatif secara langsung dan dapat terus mengontrol orang yang dipilihnya. Demikian disampaikan oleh Anggota Komisi III Supriansa dalam sidang kelima uji materiil UU Pemilu yang digelar pada Kamis (26/1/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu ini diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam tulisan ini, saya tak ingin berkutat terlalu lama dalam narasi hukum per undang-undangan karena saya yakin para pembaca masih banyak kerja lain nak di buat, jadi saya ingin ajak pembaca mengupas tingkah dan manuver para Caleg menjelang keluarnya putusan MK yang memutuskan apakah Sistem Proporsional Terbuka atau Tertutup yang dipakai pada Pemilu 2024 nanti.

Fenomena menarik yang terjadi saat ini, di tengah proses tahapan Pemilu adalah banyaknya kader partai yang mendadak kutu loncat, mereka lebih memilih keluar dari partai yang membesarkannya ketimbang dapat nomor urut pencalegan di ‘nomor sepatu’, istilah bagi yang ditempatkan di nomor urut bawah, perebutan nomor urut pencalegan menjadi hal baru pasca Pemilu 2009, 2014 dan 2019, di mana para caleg tak mempersoalkan mau di kasih nomor berapa pun, apalagi buat para Artis, mereka ditaruh di urutan bawah pun tetap fans mereka akan memilihnya dan kebanyakan menang.

Para petahana legislator yang kembali ikut bertarung dalam Pemilu nanti pun tak kalah bermanuver, dengan segenap kemampuan mereka sudah membooking nomor urut 1 sebagai nomor pencalegannya, tak sedikit yang pindah Daerah Pemilihan (Dapil) asal dapat nomor 1, walaupun mungkin ‘asam garam’nya lebih tinggi.

Tahapan pendaftaran sampai pada penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) yang berlangsung sangat panjang hingga awal November nanti menjadi celah bagi para Caleg bersiasat mengatur posisi yang terbaik buat mereka, yang paham dan mengikuti perkembangan regulasi lebih banyak tiarap dan sibuk mencari informasi kepastian hukum, yang masih belum ngeh dengan kemungkinan perubahan aturan malah sibuk sosialisasi keliling kampung tebar pesona dan bagi-bagi janji.

Bila sebelumnya banyak legislator yang tak berminat jadi pengurus partai karena dianggap nambah kerjaan, kini posisi itu jadi incaran, struktur Ketua, Sekretaris dan Bendahara (KSB) kembali terangkat derajatnya, kedaulatan partai politik mulai kembali dielu- elukan, biasanya cuma jadi batu pijakan atau istilah lain ‘pinjam bendera’, sekarang partai politik dianggap penting.

Gaung Proporsional Tertutup ternyata punya imbas nyata pada perubahan prilaku politik, loyalitas pada partai akan mulai terpatri, kepatuhan atas perintah partai juga jadi kewajiban baru, rintis karir dari pemasang bendera sampai duduk jadi fungsionaris juga akan mulai ditekuni, kantor sekretariat Parpol sekarang jadi tempat yang ramai karena dulu masing-masing Caleg punya rumah pemenangan sendiri jadi bisa jadi dia sendiri tak pernah pijakkan kaki di kantor partainya.

Mau terbuka atau tertutup, hal terpenting sebenarnya adalah pembenahan mental Caleg dan Pemilih, kita berharap tak ada lagi praktek jual beli suara, yang dapat mengekalkan oligarki di negeri ini, pasca reformasi 1998, kita sangat ingin demokrasi benar-benar terwujud tanpa embel-embel apapun, walaupun nanti ternyata putusan MK merubah sistem Pemilu, maka kondisi ini membuat bergesernya center of gravity dari dugaan money politic, semula dari Caleg kini beralih dari Parpol ke pemilih.

Janganlah menjadikan momen Pileg sebagai wahana mencari pekerjaan untuk penghasilan atau tambahan penghasilan dari pekerjaan yang sudah ada, Jadikanlah Caleg sebagai jalan pengabdian anda untuk masyarakat, bangsa dan negara. Para pembaca yang saya hormati, ayo kita awasi Pemilu, Mari bersama kita sukseskan Pemilu 2024 .

Print Friendly, PDF & Email

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here