Yuki Vegoeista, Kabid PTKP HMI Cabang Tanjungpinang-Bintan

Mahasiswa adalah simbol perjuangan dan idealisme, yang kerap kali diidentikkan dengan semangat perubahan dan keberanian menantang status quo. Sejak masa kemerdekaan hingga era reformasi, mahasiswa selalu hadir sebagai garda terdepan dalam mengawal nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan demokrasi. Namun, ketika fenomena mahasiswa yang terjun ke dunia politik praktis semakin marak, muncul pertanyaan: apakah ini adalah bentuk pengabdian yang tulus demi masyarakat, atau justru langkah yang berpotensi mengorbankan idealisme mereka di tengah dinamika kekuasaan?

Mahasiswa sebagai Agen Perubahan dalam Perspektif Teoretis

Dalam sosiologi, peran mahasiswa sebagai agen perubahan sangatlah relevan. Karl Mannheim, seorang sosiolog Jerman, menggambarkan generasi muda sebagai kelompok yang berada dalam periode transisi dan memiliki potensi besar untuk menggerakkan perubahan. Mereka belum terikat oleh beban ideologi dan pengalaman generasi sebelumnya, sehingga mampu berpikir segar dan bebas. Posisi mahasiswa ini menjadikan mereka sebagai pelopor pemikiran-pemikiran baru yang sering kali mampu memberikan solusi kreatif untuk masalah sosial-politik yang ada.

Lebih lanjut, Antonio Gramsci melalui konsep “intelektual organik” menggambarkan mahasiswa sebagai bagian dari kelas intelektual yang memiliki kewajiban moral untuk berpihak kepada rakyat. Intelektual organik bukanlah mereka yang sekadar menciptakan teori dan pemikiran, melainkan yang berinteraksi langsung dengan realitas sosial dan memberikan kontribusi nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis bisa dipandang sebagai upaya untuk menjalankan peran intelektual organik, yakni berupaya menyuarakan kepentingan rakyat dari dalam sistem politik.

Namun, di sisi lain, Gramsci juga menegaskan bahwa seorang intelektual organik harus mampu menjaga keberpihakannya dan tidak mudah tergoda oleh keuntungan pribadi atau kelompok. Dalam politik praktis, risiko kehilangan keberpihakan ini sangatlah tinggi. Mahasiswa yang seharusnya menjadi pembela rakyat bisa saja berubah menjadi bagian dari elit kekuasaan yang abai terhadap kepentingan publik.

Manfaat Partisipasi Mahasiswa dalam Politik Praktis

Tak dapat dipungkiri, ada manfaat positif dari keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis. Menurut John Dewey, pengalaman langsung adalah metode belajar yang paling efektif. Keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis memungkinkan mereka untuk memahami secara mendalam bagaimana proses pembuatan kebijakan, siapa saja aktor yang terlibat, serta bagaimana dinamika kekuasaan terjadi di dalam pemerintahan. Ini adalah kesempatan berharga bagi mahasiswa untuk mengembangkan wawasan politik yang lebih luas, sekaligus memperkaya pemahaman mereka tentang realitas sosial yang sering kali kompleks dan penuh tantangan.

Dari perspektif politik partisipatoris, keterlibatan mahasiswa dalam politik juga dapat memperkuat budaya demokrasi. Almond dan Verba, melalui penelitian mereka dalam The Civic Culture, mengungkapkan bahwa partisipasi politik yang aktif dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk mahasiswa, dapat memperkokoh fondasi demokrasi. Dengan semakin banyaknya mahasiswa yang terlibat dalam politik praktis, diharapkan muncul generasi baru yang memiliki pemahaman mendalam tentang demokrasi serta mampu menyuarakan kepentingan rakyat. Partisipasi ini adalah wujud dari civic engagement yang sehat, di mana mahasiswa menjadi bagian dari proses politik dan turut berkontribusi untuk perubahan sosial.

Tantangan dan Risiko: Menguji Kesetiaan pada Idealisme

Namun, politik praktis juga membawa tantangan besar bagi mahasiswa, terutama terkait risiko kompromi terhadap idealisme. Michel Foucault, melalui teorinya tentang kekuasaan, menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya berada di tangan aktor-aktor politik tertentu, tetapi tersebar dan meresap dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pemikiran dan perilaku individu. Ini berarti, keterlibatan mahasiswa dalam politik praktis akan membawa mereka bersentuhan langsung dengan berbagai bentuk kekuasaan, yang mungkin mengancam idealisme mereka.

Secara psikologis, mahasiswa yang terlibat dalam politik praktis rentan terhadap yang disebut sebagai “kompromi nilai.” Dalam situasi politik, mereka mungkin menghadapi dilema di mana nilai-nilai idealisme yang mereka pegang harus berhadapan dengan kenyataan yang tidak selalu ideal. Teori kognitif menyebutkan bahwa manusia cenderung mengubah atau menyesuaikan nilai-nilainya agar sesuai dengan lingkungannya. Dalam konteks politik, ini bisa berarti mahasiswa mulai mempertimbangkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu di atas kepentingan masyarakat luas. Ketika hal ini terjadi, idealisme yang seharusnya menjadi jiwa mahasiswa bisa terkikis, dan mereka berpotensi berubah menjadi sosok yang justru mirip dengan para elit yang dulunya mereka kritik.

Kesimpulan: Pengabdian yang Memerlukan Integritas

Partisipasi mahasiswa dalam politik praktis bukanlah hal yang dapat dinilai dengan hitam-putih. Ada sisi positif, yakni sebagai sarana belajar dan memperjuangkan kepentingan rakyat secara lebih langsung. Namun, ada pula risiko yang besar, yaitu hilangnya idealisme dan keberpihakan pada rakyat akibat godaan kekuasaan. Oleh karena itu, mahasiswa yang terjun ke dunia politik praktis perlu memiliki komitmen yang kuat dan integritas yang kokoh. Mereka harus senantiasa mengingat bahwa peran mereka bukan sekadar meraih kekuasaan, tetapi untuk memastikan suara masyarakat tetap didengar dan kepentingan publik tetap diutamakan.

Jika mahasiswa dapat menjaga idealismenya, terlepas dari arus dan dinamika politik yang mengitarinya, maka keterlibatan ini bisa menjadi jalan yang bermakna dalam membangun negeri. Namun, jika idealisme tersebut tergadai demi kepentingan pribadi atau ambisi sesaat, maka sesungguhnya mereka telah gagal menjalankan peran sejati sebagai agen perubahan. Keterlibatan dalam politik praktis adalah sebuah pengabdian, tetapi juga pengorbanan, yang memerlukan keberanian dan keteguhan hati untuk tetap setia pada nilai-nilai yang luhur.

 

Ditulis oleh: Yuki Vegoeista, Kabid PTKP HMI Cabang Tanjungpinang-Bintan

Print Friendly, PDF & Email

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here