Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad saat menemui Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono di Jakarta, Kamis (24/8/2023). F:Sijoritoday.com/Diskominfo Kepri

JAKARTA,SIJORITODAY.com – Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad menemui Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono di Jakarta, Kamis (24/8/2023).

Dalam pertemuan tersebut, keduanya membahas persiapan GTRA Summit 2023 yang akan digelar di Kabupaten Karimun pada 28-30 Agustus 2023.

Ansar menyampaikan bahwa Pemprov Kepri telah mempersiapkan even tersebut dengan maksimal dan berharap Menteri KKP berkenan hadir bersama Presiden Joko Widodo yang telah terjadwal untuk membuka acara tersebut.

“InsyaAllah sampai saat ini kami koordinasi dengan pihak istana Pak Presiden masih terjadwal hadir dalam pelaksanaan GTRA Summit 2023 di Karimun,” katanya, Kamis (24/8/2023).

Selain itu, keduanya juga membahas realisasi PP 11 Tahun 2023 dan PP 26 Tahun 2023.

Ansar melaporkan sekaligus meminta arahan Menteri KKP mengenai dua PP tersebut yang berdampak pada sektor kelautan dan perikanan di Kepri.

“Sektor kelautan dan perikanan merupakan potensi yang paling besar karena 97 persen Kepri adalah laut sehingga harus diperhatikan dan dimanfaatkan agar dampaknya bisa dikelola oleh daerah dan dirasakan masyarakat khususnya para nelayan,” ujarnya.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepri, Said Sudrajat mengatakan, nelayan di Kepri terus melakukan protes dan unjuk rasa terkait PP 11 Tahun 2023.

Nelayan berkeberatan karena ada klasifikasi kapal dengan 1-5 Gross Tonnage (GT) sebagai ukuran kecil sedangkan 6-10 GT sebagai ukuran sedang.

Padahal, berdasarkan UU 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Kecil, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, nelayan kecil adalah nelayan yang menggunakan kapal ukuran sampai dengan 10 GT.

“Para kelompok nelayan memohon agar dikembalikan nelayan kecil tetap 1-10 GT,” ucapnya.

Selain itu, para nelayan juga merasa terbebani dengan adanya kewajiban pemasangan Vessel Monitoring System (VMS) dengan harga yang lumayan besar ditambah adanya pembiayaan air time juga dan adanya penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 5 persen.

Menanggapi laporan tersebut, Wahyu menjelaskan, PP 11 Tahun 2023 mengatur zona penangkapan ikan terukur yang berada di atas 12 mil dari pantai. Nelayan yang beroperasi di zona tersebut harus mendapatkan izin dari pusat yaitu KKP.

Selain itu, PP 11 Tahun 2023 juga mengatur mengenai kuota penangkapan ikan pada zona penangkapan ikan terukur yang dihitung berdasarkan potensi sumber daya ikan yang tersedia dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dengan mempertimbangkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan.

“Esensi dari PP No 11 Tahun 2023 ini prinsipnya untuk kepentingan lokal. Wilayah yang punya zona harus menjadi tuan rumah di tempatnya,” jelasnya.

“Yang kami lakukan adalah nelayan lokal dan nelayan zona tidak dipungut biaya sama sekali. Data nelayan lokal sudah ada, tugas kita berantas para pengusaha yang masih nakal,” sambungnya.

Wahyu berharap dengan PP 11 Tahun 2023, kelestarian sumber daya ikan tetap terjaga dan dapat memberikan kesejahteraan nelayan.

Selain itu bakal terbuka perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan nilai tambah dan daya saing hasil perikanan, kepastian berusaha, kontribusi bagi dunia usaha, serta bagi negara.

Sementara itu, terkait PP 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, Wahyu mengatakan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan sedimentasi sudah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan.

“Jadi sebelum pengusaha melakukan sedimentasi harus bayar dulu PNBP nya di awal, kemudian diberikan izin. Untuk lokal 30 persen dan untuk ekspor 35 persen,” tutupnya.

Penulis: Nuel

Print Friendly, PDF & Email

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here