EDITORIAL

Peranan Bawaslu dalam setiap tahapan pemilu, dari waktu ke waktu semakin dianggap penting. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan kepemiluan, senantiasa memberikan ruang bagi peningkatan eksistensi lembaga pengawas pemilu ini.

Tentu harapannya agar keberadaan Bawaslu dapat lebih kuat dan mandiri, dalam memastikan setiap tahapan penyelenggaraan pemilu berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Disamping itu, melalui penguatan lembaga penyelenggara pemilu diharapkan akan menghasilkan pemilu yang berkualitas, jujur dan adil.

Proses pemilu yang dilakukan secara jujur dan adil, hasilnya tentu mencerminkan proses demokrasi yang representatif. Sebaliknya, jika proses yang dilalui sudah tidak jujur dan tidak adil, maka hasilnya pun dapat dipastikan cacat demokrasi.

Keberadaan Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu diharapkan secara tegas berada diatas rel aturan yang berlaku. Berlaku adil terhadap seluruh peserta pemilu, serta jujur dalam menegakkan aturan serta tidak tebang pilih dalam menyelesaikan setiap dugaan pelanggaran pemilu.

Dengan demikian maka publik akan menilai sejauh mana efektivitas dengan keberadaan lembaga pengawas pemilu ini, apakah benar-benar untuk menegakkan aturan atau hanya untuk kepentingan segelintir orang atau golongan.

Saat ini, tahapan pemilu serentak tahun 2024 telah memasuki masa kampanye. Berbagai dinamika politik pun semakin kompleks. Hal ini sering kali dipicu oleh perilaku calon legislative, yang diantaranya bahkan menggunakan segala cara untuk memperoleh dukungan masyarakat.

Seperti halnya yang terjadi di Kabupaten Bintan, terdapatnya dugaan pelanggaran pemilu yaitu pemanfaatan bantuan sembako dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kabupaten Bintan untuk kepentingan Calon Legislative (Caleg) tertentu.

Bantuan sembako yang disalurkan atas nama Baznas Kabupaten Bintan itu, masing-masing paket berisikan beras 5 kg, minyak goreng 1 kg, gula 1,5 kg dan mie instan 7 bungkus. Selain itu, diduga terdapatnya kartu nama salah seorang calon legislative yang maju pada pemilu tahun 2024 dalam setiap bungkusan sembako.

Kejadian yang terjadi di Desa Bintan Buyu, Kecamatan Teluk Bintan itu sontak menjadi perhatian banyak kalangan. Bagaimana tidak, bantuan yang berasal dari dana umat yang dikelola Pemerintah Daerah melalui Baznas justru diduga dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Apalagi kejadian tersebut terjadi ketika telah memasuki tahapan masa kampanye, yang tentunya telah berlaku ketentuan terkait pelaksanaan kampanye.

Sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, bahwa salah satu larangan dalam kegiatan kampanye yaitu “menjanjikan atau memberi uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu”. Bahkan dalam ayat (4) Pasal tersebut juga menegaskan bahwa, pelanggaran atas ketentuan tersebut merupakan tindak pidana pemilu.

Adapun ketentuan pidana atas larangan dalam masa kampanye, diatur dalam Pasal 523 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dimana Pasal tersebut berbunyi, “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)”.

Mengutip pernyataan Ketua Bawaslu RI dalam media kompas pada 7 Desember 2023, yang menegaskan bahwa peserta pemilu maupun tim kampanye dilarang untuk membagikan sembako pada masa kampanye Pemilu 2024.

“Sembako tidak boleh dibagi, sebab kalau sudah bagi sembako maka masuk kategori politik uang. Tindak pidana nanti” kata Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja kepada wartawan kompas pada Kamis (7/12/2023).

Dari ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 serta pernyataan ketua Bawaslu RI tersebut, maka pembagian sembako dalam kegiatan kampanye dapat dimaknai sebagai bentuk “materi lainnya”, sebagaimana dalam ketentuan pasal 280 ayat (1) huruf j UU tersebut. Sehingga apabila dilakukan, maka memiliki konsekuensi hukum sebagai tindak pidana pemilu.

Atas kejadian yang terjadi di Kabupaten Bintan, Bawaslu Kabupaten Bintan perlu diberikan apresiasi sebab telah melakukan proses penanganan pelanggaran sesuai aturan dan kewenangan yang dimilikinya.

Bahkan Bawaslu Kabupaten Bintan telah mengambil keputusan dalam Rapat Pleno, jika kejadian yang terjadi merupakan bentuk dugaan Pelanggaran Tindak Pidana Pemilu serta dugaan Pelanggaran terhadap Netralitas ASN.

Tentunya kasus ini memasuki babak baru, dimana atas dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu telah dilimpahkan pada tingkat penyidikan lebih lanjut ke Sentra Gakkumdu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu) yang terdiri dari Unsur Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan.

Pada tingkatan ini, konsentrasi penyidikan akan mengarah pada pemenuhan unsur-unsur pidana Pemilu sebagaimana Pasal yang diduga dilanggar dalam UU Nomor 7 Tahun 2017.

Jika merujuk pada Pasal 523 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, setidak-tidaknya ada 3 unsur yang harusnya terpenuhi sehingga kasus tersebut dapat dilanjutkan pada tahap berikutnya.

Adapun ketiga unsur tersebut, yaitu pertama pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu, dalam hal ini yang dapat dimaksudkan sebagai peserta Pemilu adalah Calon Legislative yang diduga kartu namanya berada dalam paket sembako yang dibagikan kepada masyarakat.

Unsur kedua yaitu memberikan uang atau materi lainnya, yang dalam hal ini materi lainnya berupa paket sembako. Unsur kedua ini tentunya sudah dapat dibuktikan dengan adanya alat bukti maupun barang bukti, sehingga menjadi dasar temuan pelanggaran.

Sedangkan unsur yang ketiga yang sangat penting yaitu, unsur dengan sengaja. Disinilah poin penting yang perlu dilakukan pendalaman oleh Sentra Gakkumdu, sejauh mana unsur kesengajaan Peserta Pemilu atau Calon Legislative yang bersangkutan maupun Tim Kampanyenya dalam melakukan dugaan tindak pidana pemilu tersebut.

Dalam proses penanganannya, tentunya publik berharap adanya kepastian hukum dan netralitas dalam menjaga independensi institusi masing-masing Sentra Gakkumdu dalam mengungkap kasus yang terjadi.

Kendati dalam penanganannya akan sedikit rumit, apalagi oknum calon legislative itu diduga merupakan istri dari orang nomor satu untuk tingkatan ASN di Pemerintah Kabupaten Bintan.

Sedangkan sembako yang dibagikan kepada masyarakat atas nama Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kabupaten Bintan, yang diduga dibagikan oleh perangkat desa.

Sebagaimana hasil pleno Bawaslu Kabupaten Bintan, selain dianggap merupakan bentuk dugaan pelanggaran pidana pemilu. Kasus yang terjadi juga berkaitan dengan Netralitas ASN maupun Perangkat Desa, sehingga penanganannya tentunya memiliki 2 muara yaitu penanganan pidana pemilu dan penanganan pelanggaran netralitas ASN dan perangkat desa.

Merujuk pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 280 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, bahwa “Pelaksana, Peserta, dan Tim Kampanye dalam kegiatan kampanye dilarang mengikutsertakan diantaranya yaitu ASN, kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD”.

Sedangkan dalam Pasal 282, menyebutkan bahwa “Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa Kampanye”.

Bahkan ketentuan lebih lanjut diatur dalam pasal 283 ayat (2), yang menegaskan larangan untuk melakukan pertemuan atau dalam bentuk pemberian sesuatu kepada masyarakat yang berpihak pada peserta pemilu.

Dimana larangan-larangan tersebut, bukan hanya mengandung unsur pelanggaran terhadap Netralitas ASN dan Perangkat Desa namun juga memiliki konsekuensi pelanggaran pidana Pemilu.

Hal ini diatur dalam Pasal 521 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang berbunyi bahwa “setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye Pemilu yang melanggar larangan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) Huruf a, Huruf b, Huruf c, Huruf d, Huruf e, Huruf f, Huruf g, Huruf h, Huruf I, atau Huruf j dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah)”.

Dari ketentuan-ketentuan itu, sangat jelas ada 2 konsekuensi hukum yang dapat digunakan yaitu ketentuan Pasal 521 karena dugaan pelibatan ASN dan Perangkat Desa dalam kegiatan Kampanye serta Pasal 523 ayat (1) terkait dugaan pemberian materil lainnya berupa sembako kepada masyarakat.

Saat ini publik hanya dapat menunggu dan memantau proses penanganan yang sedang dilakukan oleh Sentra Gakkumdu Kabupaten Bintan, sejauh mana independensi, profesionalitas dan netralitas dalam mengungkap segala bentuk pelanggaran khususnya tindak pidana Pemilu.

Soal terbukti bersalah atau tidak serta siapa yang bersalah dalam kasus ini adalah Pengadilan, bukan ranah dan kewenangan Bawaslu bersama Sentra Gakkumdu.

Namun terpenting adalah keseriusan para penegak hukum dalam menegakkan aturan kepemiluan agar berjalan dengan jujur dan adil. Hal ini penting untuk mendapatkan penanganan secara serius, sebab telah menjadi atensi publik terhadap dinamika pemilu yang terjadi di Kabupaten Bintan. (Oxy/Akok)

Print Friendly, PDF & Email

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here